Masjid Jami Keraton Sambas: Sejarah, Budaya, dan Pengaruh Islam di Kesultanan Sambas
Masjid Jami Keraton Sambas awalnya merupakan rumah Sultan yang kemudian dijadikan mushala. Masjid ini dibangun oleh Sultan Umar Aqomuddin, yang memerintah Negeri Sambas pada tahun 1702–1727 M. Setelah itu, masjid kecil ini direnovasi dan dikembangkan oleh putranya, Sultan Muhammad Saifuddin, menjadi masjid jami. Masjid ini diresmikan pada 10 Oktober 1885 M dan tercatat sebagai masjid tertua di Kalimantan Barat.
Sultan Muhammad Saifuddin, Sultan ke-8 Kerajaan Sambas, memerintah pada tahun 1866–1924 M. Di masa pemerintahannya, Kesultanan Sambas semakin terkenal hingga ke negeri tetangga, dengan pembangunan fisik maupun nonfisik yang maju pesat. Sultan Muhammad Saifuddin membuat serta memperbaiki infrastruktur seperti jalan dan jembatan, memperluas kongsi perdagangan dengan negeri tetangga, serta meningkatkan pembangunan di bidang pendidikan, termasuk pembangunan masjid dan sekolah.
Tonton Juga: Masjid Hidayatullah, Berdiri di Bangunan Kuno Berusia 2,5 Abad
Pada waktu itu, Kerajaan Sambas adalah kerajaan yang berwibawa dengan angkatan perang yang kuat. Negeri Sambas merupakan kesultanan yang merdeka penuh, dengan raja-rajanya yang terkenal sebagai pelaut ulung. Kesultanan Sambas juga dikenal sebagai “Keraton al-Watskhubillah,” yang berarti “semoga Allah SWT melimpahkan rahmat, ridha, dan ampunan bagi raja dan rakyatnya.” Tujuan Negeri Sambas adalah menjadi negeri yang baik dan penduduknya diampuni oleh Allah SWT.
Asal-usul Kesultanan Sambas
Kerajaan Sambas didirikan oleh Raden Sulaiman, seorang tokoh dari Brunei Darussalam yang berlayar hingga Sambas bersama prajuritnya dalam pencarian daerah baru. Sebelum mencapai Sambas, ia melewati daerah Mensemat, Bandar, dan Lubuk Madung. Di kota Lubuk Madung, Raden Sulaiman diangkat menjadi Sultan oleh para pengikutnya dengan gelar Sultan Muhammad Saifuddin I pada 20 Agustus 1652 M.
Karena kondisi kota Lubuk Madung yang kurang strategis, pusat pemerintahan dipindahkan ke pertemuan tiga sungai, yaitu Sungai Sambas Kecil, Sungai Teberau, dan Sungai Sibah, yang dikenal sebagai Muara Ulakan. Di Muara Ulakan inilah didirikan sebuah istana yang masih berdiri hingga sekarang. Di hari tuanya, Sultan Muhammad Saifuddin mengangkat putranya, Raden Bima, sebagai Sultan dengan gelar Sultan Muhammad Saifuddin II.
Baca Juga: Jusuf Kalla Dorong Dewan Masjid Sulbar Persiapkan SDM Untuk Bangkitkan Kejayaan Kopra dan Kakao
Pengaruh Budaya Islam di Kesultanan Sambas
Budaya Islam sangat menonjol dalam kehidupan Kerajaan Sambas, dan kerajaan ini menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai negara tetangga yang turut mendorong perkembangan pesat di berbagai bidang, termasuk pembangunan tempat ibadah seperti masjid dan mushala.
Namun, Sambas tak luput dari ancaman penjajah. Pada tahun 1812 M, tentara Inggris pernah menyerang Sambas namun berhasil dipatahkan. Belanda pun sempat menduduki Negeri Sambas, tetapi berhasil diusir. Dalam legenda setempat, Kesultanan Sambas memiliki sebuah meriam ajaib yang, konon, mampu menyerang musuh tanpa dioperasikan oleh siapa pun. Ketika istana diserang oleh Belanda, meriam ini secara ajaib menembakkan pelurunya dan membuat Belanda mundur. Hingga kini, meriam tersebut masih disimpan di Keraton Kerajaan Sambas.
Hubungan Bilateral Kesultanan Sambas
Para sultan Sambas aktif menjalin hubungan bilateral dengan negara-negara tetangga guna meningkatkan taraf ekonomi rakyat dan memperluas wawasan dalam bidang pemerintahan. Tidak heran jika banyak cenderamata dari negara-negara sahabat yang masih tersimpan di Kesultanan Sambas, berupa benda pusaka seperti keris, pedang, dan meriam, serta barang-barang rumah tangga seperti piring, mangkuk, dan vas bunga. Negara-negara yang menjalin persahabatan dengan Kerajaan Sambas antara lain Turki, Mesir, Brunei, Malaya (Malaysia), Cina, India, dan Inggris.