Dibalik Sikap Netral Negara Teluk Arab saat Konflik Iran vs Israel Membara

Negara-negara Teluk Arab memilih sikap netral di tengah memanasnya konflik Timur Tengah usai serangan ratusan rudal Iran ke Israel pada akhir pekan lalu.

Negara-negara yang terlibat dalam Gulf Cooperation Council/GCC (Dewan Keamanan Teluk) melontarkan sikap mereka dalam pertemuan di Doha, Qatar, Jum’at (04/10).

Menurut dua sumber yg dikutip Reuters, Selasa (8/10), sikap ini diberikan sebagai upaya meyakinkan Iran akan netralitas mereka dalam konflik Teheran dan Israel.

Sebelumnya, Iran mengancam akan menyerang fasilitas minyak di kawasan Teluk Arab jika ikut terlibat melakukan intervensi langsung dalam rangka mendukung Israel.

Iran memperingatkan, tidak akan segan mengalamatkan serangan untuk merusak kepentingan ekonomi dan energi negara Teluk Arab di kawasan. Iran memberi petunjuk akan melakukan serangan lewat sumber-sumber tidak resmi mereka yang sulit dilacak.

Pengamat hubungan internasional, Universitas Indonesia Sya’roni Rofi’i mengatakan, sikap netral negara Arab Teluk bukan hal baru. Sejauh ini, mereka selalu menghindari konflik terbuka dengan Israel.

BACA LAGI: Uji Coba Nuklir Iran atau Gempa Bumi Alami?

“Sikap negara-negara teluk yang netral bukan sesuatu yang mengejutkan sebab negara teluk dalam beberapa kesempatan berupaya untuk menghindari konfrontasi militer secara langsung dengan Israel,” kata Sya’roni dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/10).

Negara Teluk Arab terdiri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Uniemirat Arab dan Saudi Arabia. Semua negara tersebut memiliki hubungan yang dekat dengan Amerika Serikat  sebagai “strong alliance” Israel.

Kecuali Saudi, kelima anggota GCC juga memiliki hubungan dengan Israel entah diplomatik atau sekedar hubungan dagang.

Kedekatan hubungan dengan Amerika, telah membawa dampak terhadap normalisasi dan penguatan aliansi kepentingan bersama Israel dan negara-negara Arab. Meliputi perkembangan ekonomi dan inovasi teknologi, termasuk keamanan dan pertahanan yang pesat dengan menawarkan berbagai insentif pada abad ke-20 dan 21.

Salah satunya, lewat gagasan Abraham Accords yang disodorkan Amerika telah membuka hubungan Israel dengan negara-negara Arab dan mengubah paradigma konflik Arab-Israel. Termasuk, penyelesaian konflik Palestina.

Setelah sukses menormalisasi hubungan Bahrain dan Israel, pada Juli 2020, Amerika juga berhasil memediasi normalisasi hubungan antara Uni Emirat Arab dan Israel. Dipermanis dengan janji kompensasi pembelian 50 jet tempur F-35.

Pada Desember 2020 menyusul Maroko kemudian Sudan pada Januari 2021 ikut menormalisasi hubungan dengan Israel. Maroko langsung diberi kompensasi oleh Amerika sebagai negara pertama yang mengakui kedaulatan Maroko atas wilayah Sahara Barat. Sementara Sudan, pada bulan yang sama, Amerika mencabut Sudan dari daftar negara sponsor teorisme.

Pada tahun-tahun setelah perjanjian, para penandatangan melakukan serangkaian perjanjian perdagangan dan pengaturan kerja sama keamanan. Terkait persoalan Palestina, negara teluk Arab mengindikasikan perjanjian normalisasi akan memberi mereka pengaruh yang lebih besar untuk campur tangan atas nama Palestina.

Tetapi kenyataan menunjukan, kesepakatan jistru mendorong negara-negara Arab mengesampingkan perjuangan Palestina dan pada akhirnya mengambil sikap netral karena terikat pon-poin kesepakatan Abraham Accords.

Menurut Sya’roni, Abraham Accord punya bias lain, bahwa lewat normalisasi hubungan, Amerika berambisi mendorong negara Teluk Arab ber-makmum pada Israel dalam urusan geopolitik, geoekonomi dan geostrategis dengan menjadikan Iran sebagai “common enemy” (musuh bersama) serta menyerukan dunia melakukan hal serupa.

Pengamat hubungan internasional dari kampus yg sama, Yon Machmudi mengatakan, ekses dari tujuan Abraham Accords, saat ini nyata menunjukan perpecahan dukungan terhadap Palestina di Timur Tengah. Menguatnya konflik Iran dan Israel beberapa pekan terkahir, mengkonfirmasi perpecahan dukungan itu.

“Negara-negara Timur Tengah, terutama negara Teluk Arab, menunjukan keengganan mendukung Palestina secara serius karena ada Iran yang sejauh ini sangat vokal membela kemerdekaan Palestina,” kata Yon Machmudi.

Iran selama ini memang lantang mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina. Mereka bahkan sempat menyerukan embargo dan sanksi ke Israel saat pasukan Zionis meluncurkan invasi ke Gaza.

Iran juga kerap mengklaim tindakan mereka selama ini terkait Israel berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan Palestina. Namun, negara-negara Arab tak bersahabat dengan Iran karena dinilai terlalu konfrontatif.

Negara Teluk Arab lebih memilih sikap netral dan banyak berbicara upaya deeskalasi untuk meredakan ketegangan Iran dan Israel.

Negara Teluk Arab enggan memilih berpihak pada salah satunya. Terlebih lagi jika harus memilih berpihak pada Israel. Tentu saja akan berhadapan dengan ancaman sebagai target serangan terhadap kilang minyak yang sangat merugikan.

Yon Machmudi menambahkan, memilih sikap Netral dan mengupayakan strategi deeskalasi adalah cara terbaik, termasuk untuk mindungi kemanan energi karena konflik Iran-Israel yang bekepanjangan dapat menghambar produksi dan supplay energi global.

“Puncak kekhawatirannya adalah konflik berkepanjangan tentu akan menghambat dan memperkeruh upaya komonitas global menyelesaikan konflik Palestia,” Tutut Yon Machmudi.

Kunjungi YouTube TawafTV untuk update berita lainnya.

Sharing

Leave your comment